Sunday, January 16, 2011

SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF

SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF

A. Asal Mula Tasawuf

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

B. Sumber Tradisi dalam Kehidupan Tasawuf

Dilihat dari metode dan tata cara pengamalan tasawuf, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Imam Al-Ghazali pun mengungkapkan bahwa pola hidup Nabi Musa dan Nabi Isa sebagai tauladan sufi. Beliau pun mengatakan bahwa kedua Nabi tersebut di atas sebagai guru spiritual yang mengajarkan hikmah yang sangat mendalam dalam mencintai Tuhan.
Sesungguhnya ajaran tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, lalu dilaksanakan oleh sahabat Ahlu al-Suffah, dibawah bimbingan Rasulullah saw, yang berjumlah tidak kurang dari 300 orang dan tidak lebih dari 400 sahabat; antara lain Abu Dharr Al-Ghifari, Abu Musa Al-Asy’ari, Salman Al-Farisi dan sebagainya.
Ketika ajaran tersebut berkembang pada awal abad ke III H, tradisi dari berbagai agama di luar islam dan pemikiran filsafat, semakin banyak yang mewarnai tata cara pelaksanaan ajaran Tasawuf, karena ketika itu, kitab-kitab agama lain dan filsafat sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga dapat menjadi referensi dalam mengembangkan ajaran Tasawuf pada masa-masa berikutnya.
Ada beberapa tradisi pengamalan ajaran Tasawuf yang bersumber dari beberapa ajaran, antara lain:
1. Dari Tradisi Agama Kristen
Kebiasaan Nabi Isa as (yang dianggap Yesus) berpuasa di siang hari, lalu beribadah sepanjang malam memotivasi Sufi yang ekstrem menjalankan puasa selama-lamanya, lalu sepanjang malam diisi dengan pelaksanaan shalat dan berdzikir.
Maryam sendiri sebelum melahirkan Isa as, termasuk anggota biarawati (semacam peserta tasawuf dalam Islam), di bawah bimbingan nabi Zakariya sangat menekuni ajaran spiritual, berpuasa pada siang hari, berdzikir dan bertafakkur di malam hari. Kemudian perkembangan agama Kristen pada masa berikutnya, para pendeta (rahib) semakin banyak yang menekuni kehidupan spiritual dengan cara zuhud dan bertapa, untuk menunjukkan kecintaannya kepada Tuhan-nya.

2. Dari Tradisi Agama Hindu-Budha
Ajaran Hindu-Budha sangat menonjol dalam tata cara pelaksanaan Tasawuf yang dianut oleh aliran Tasawuf Irfani; misalnya Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran ittihadnya, Al-Hallaj dengan ajaran hululnya dan Ibnu ‘Arabi dengan ajaran wahdatul wujudnya.
Ajaran Hindu mendorong manusia agar menyatukan jiwanya dengan dewa, yang disebut penyatuan Atman dengan Brahman, yang sama dengan ittihad, hulul, dan wahdatul wujud dalam Tasawuf islam. Sedangkan ajaran Budha mendorong untuk mencapai nirwana, dengan cara meninggalkan kehidupan dunia atau berkontemplasi (bersemedi), untuk meniadakan dirinya, yang dalam Tasawuf Islam dikenal dengan sebutan fana’ dan baqa’.

3. Dari Pengaruh Pemikiran Filsafat Mistik Pytagoras
Pytagoras (hidup 580-500 SM) berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal, yang selalu ingin menempati surga. Tetapi tidak dapat menempati surga bila telah dikotori oleh jasmani yang sangat menyenangi kehidupan duniawi. Ajaran zuhud dan Wara’ berasal dari teori tersebut, lalu diperkuat oleh beberapa hadits antara lain mengatakan: “Dunia merupakan penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir.” HR.Ahmad dan Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah.

4. Dari Pengaruh Pemikiran Filsafat Neo-Platonisme
Pemikiran Plotinus (meninggal 270 M) di Iskandariyah, yang juga terkenal dengan teori emanasinya yang mempengaruhi juga perkembangan Tasawuf Islam. Teori tersebut mengatakan bahwa segala yang ada merupakan pancaran dari Dzat Yang Maha Esa, dan sesuatu tersebut akan kembali lagi kepada-Nya. Karena itu, disyariatkan mensucikan diri dari kotoran duniawi dengan cara meninggalkannya, sehingga ia dapat menyatu dengan-Nya. Ajaran zuhud dan wara’ dalam Tasawuf dipengaruhi juga oleh teori tersebut, walaupun sebenarnya sudah tercantum dalam Al-Qur’an pada surah Al-An’am ayat 32, surah Al-Ankabut ayat 64, surah Muhammad ayat 36 dan surah Al-Hadid ayat 20. Serta diperkuat hadits yang berbunyi: “Tempatnya cambuk di surga masih lebih bagus daripada dunia dan isinya.” (HR.Ibnu Jarir)
Sebenarnya pengaruh dari luar Islam tidak terlalu banyak dalam zuhud dan wara’ pada Tasawuf, karena telah dinashkan di dalam Al-Qur’an dan hadits. Yang paling dipengaruhi oleh ajaran atau tradisi dari luar Islam adalah ajaran penyatuan wujud, yang disebut ittihad , hulul , dan wahdatul wujud. Bahkan Abu Yazid mengatakan: “Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnua aku”.Al-Hallaj pun mengatakan: “Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan kecuali aku”. Ibnu Al-‘Arabi mengatakan: “Sesungguhnya Allah dapat menempatkan dirinya pada setiap manusia dalam bentuk ketuhanan-Nya.
Hal tersebut menjadi sorotan penganut aliran Tasawuf Sunni, antara lain Al-Ghazali dengan mengatakan bahwa tidak pernah terjadi ada hamba yang dapat menyatu dengan Tuhannya, lalu ia menjadi Tuhan. Karena hamba berposisi sebagai tercipta sementara Allah pencipta dari hamba. Kedua wujud ini tidak dapat melebur menjadi satu wujud, kecuali hamba hanya bisa mendekati Tuhannya. hamba hanya bisa mendekati Tuhannya yang disebut al-Qarib oleh al-Jilli.

C. Pertumbuhan dan Pembentukan Tasawuf di Awal Islam

Tasawuf tumbuh sejak zaman Nabi dan sahabat besar, meskipun ketika itu belum disebut ajaran Tasawuf. Dan berkembang sejak zaman tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. Rasulullah SAW tidak hanya membawa misi kerasulan, tetapi ia juga mambawa misi kewalian, dimana Beliau sudah mencapai tingkatan wali besar (al-walayatu al-kubra). Sama halnya dengan Nabi Ibrahim, tetapi Nabi Musa tidak termasuk wali besar menurut Al-Jilli, karena itu ia masih harus belajar tentang ilmu hikmah kepada Haydir sebagai wali besar.
Orang awam hanya mencontoh kehidupan agama yang dilakukan oleh Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tetapi seorang sufi mencontoh kehidupan Muhammad sebagai wali besar, dengan cara menjalankan seluruh kewajiban berat yang disandang oleh Rasulullah saw.
Sebelum menjadi Rasul, Muhammad telah mempraktekkan kehidupan Tasawuf dengan cara menyepi di Gua Hira selama satu bulan, untuk memperoleh inspirasi dari Allah swt, hingga turun ayat pertama; yaitu surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5. Ketika Beliau hijrah ke Madinah, kehidupan spiritualnya semakin ditingkatkan dengan mengurangi tidur dan mengurangi makan. Mengurangi tidur dengan cara memperbanyak shalat malam, sedangkan mengurangi makan dengan cara memperbanyak puasa sunah, serta mengamalkan ajaran zuhud dan wara’, dengan cara meninggalkan kesenangan dunia. Seluruh istrinya pernah menceritakan kesederhanaan hidup beliau, mulai dari tempat tidurnya, pakaian dan makanannya, yang menggambarkan dirinya sebagai sosok yang sangat sederhana hidupnya, maka inilah yang dicontoh oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in serta kaum sufi dalam menekuni kehidupan.
Beliau menganjurkan kehidupan sederhana dan melarang kehidupan mewah, antara lain dalam hadits:
“Tinggalkan kehidupan dunia, pasti engkau akan dicintai Allah. Tinggalkan juga ketertarikan pada sesuatu yang sudah dimiliki oleh orang lain, pasti mereka mencintaimu” (HR.Ibnu Majah)
Hal ini pun tercermin dari kehidupan para sahabat Rasulullah SAW; diantaranya Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun sebelumnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah sahabat Nabi yang pernah menyembah berhala sebelum masuk Islam. Ketika mereka mandapatkan hidayah, mereka pun menjadi pengikut Rasulullah SAW yang setia hingga akhir hayat.
Diantara para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in yang menumbuhkan sikap tasawuf antara lain: Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib, Abu Hurrairah, Salman Al-Farisi, Abu Dharr Al-Ghifari, Miqdad Bin Aswad, Hudhayfah Bin Al-Yaman, Uways al-Qorony, dsb.

No comments:

Post a Comment